Tiga Tahun Tujuh Warna

'Tiga Tahun Tujuh Warna' adalah kumpulan puisi-puisi zaman SMA gue. :)) Mostly, isinya ngarep-ngarep percintaan gitu deh. Hahaha.
Mungkin norak ya, tapi pas dibaca-baca lagi sekarang, jadi senyum-senyum sendiri, dan ada beberapa yang membuat gue agak kagum dengan isi otak serta kreativitasnya di masa itu. Walaupun, 'keabsurd-an' juga mewarnai bahasa-bahasa gue. :p

Kenapa dikasih judul 'Tiga Tahun Tujuh Warna'?
Karena puisi-puisi itu dikumpulkan dalam satu buku yang bertuliskan 'Seven Colours' dan ditulis dalam kurun waktu tiga tahun, tepatnya dari 8 Agustus 2002 sampai 26 Juni 2005. Ya, lebih kurang 3 tahun kan. Plus, gue suka angka tiga tujuh, jadi kalau di dalam judul kumpulan puisi ini ada unsur tiga dan tujuhnya, maka diriku pun turut senang. :D

Sekarang, gue sudah berhenti menulis puisi. Haha. Sudah tidak berhasrat. Tapi, siapa tau aja juga sih kapan-kapan nulis lagi. :)

Enjoy it. 

"Tiga Tahun Tujuh Warna"

8 Agustus 2002

Asa

Dari lantai yang terbelah,
paparkan rasa yang manis,
buat setiap orang tertawa.
Benarkah seseorang itu elok adanya?
Berucaplah selagi bisa.
Rasa hati terluap bagai ombak,
nyatakan dalam hati,
seseorang itu akan datang.

Bila sinar fajar datang,
takkan ada lagi keheningan.
Bila waktu yang ternanti datang,
tawa dan senyuman akan terlintas.

Dari tanah yang elok,
akan tercium keharuman langkahnya.
Bilakah seseorang itu datang,
pada setiap harapan..



9 Agustus 2002

Hening

Hening itu indah,
datang dari lubuk hati,
tanpa canda dan tawa,
membayangkan kekosongan jiwa.

Hening itu bersahaja,
tanpa ucapan kemewahan,
diam terpampang di wajah,
kekelaman datang dalam diri.

Hening itu dewasa,
mencabik rasa kekanakkan,
merenungkan keindahan dunia.

Hening itu kesetiaan,
mencapai suatu rasa,
dari puing-puing jiwa.



20 Agustus 2002

Entah

Apakah salah jika seseorang tidak berkumpul?
Mungkin kesalahannya ada pada dirinya.
Mungkin kesalahannya ada pada orang lain.
Bisakah dikatakan ia tak bisa berkumpul?
Mungkin bisa dijawab oleh dirinya.
Atau mungkin bisa dijawab oleh orang lain.
Seandainya seluruh muka dunia menjadi satu,
apakah jadinya seluruh isinya?
Bilakah seseorang akan berkata bahwa ia,
hanya ingin menyayangi dirinya sendiri.
Mungkin ia tidak ingin hatinya terbawa suasana.
Akankah sesuatu akan datang pada dirinya?
Mungkin hanya perasaan yang dalam,
yang bisa menguasainya dan tak terlepas.
Bila semuanya telah terjawab,
berkatalah bahwa,
apakah sebenarnya?



11 September 2002

Hitam

Jika dunia tanpa warna,
hitam.. menguasai raut dunia.
Takkan ada melodi keceriaan.
Jika dunia penuh warna,
hitam hanya menjadi minoritas, titik dalam keindahan.
Pastikan, bahwa dunia akan tertawa.

Hitam hanyalah tepian warna, tidak mendominasi.
Tunjuk perhatianmu pada keceriaan, suka cita, canda dan tawa,
pada warna-warni penunjuk keindahan.
Lihat sekelilingmu, hitam hanya bayang.
Hitam hanya lintasan batin, bukan warna suka dan cita.

Menolehlah pada benda-benda dalam lingkaran hidupmu.
Apa yang Dia ciptakan itu berwarna.
Yang tidak diwarnai-Nya, menakutkan.
Hitam memang indah bagi seseorang,
tapi hitam bukan keindahan bagi seseorang.



22 Oktober 2002

Ironisnya Kata Tetapi

Akar pohon memang tidak terlihat,
tetapi tanpa akar, maka pohon pun mati.
Tanpa seseorang tidak akan buat orang lain mati,
tetapi jika begitu keadaanya maka akan sepi.
Seseorang yang gagah bisa membuat terpana.
Tetapi orang biasa pun tidak menutup kemungkinan.
Jika bisa memikirkan tentang sebuah batang kering,
tetapi tidak bisa membayangkan pelangi,
maka ia bukan yang terbaik,
tetapi, jangan salah dengan kiasan.

Mungkin saja tidak ada yang bisa mengatakan,
tetapi mengapa tidak dicoba dirasakan.
Mungkin ada sesuatu terkubur di tanah,
tetapi tak dapat digali hanya dengan jari telunjuk.
Mungkin ada bayangan ke depan,
tetapi hilang karena sengaja dimusnahkan.
Mungkin satu hari itu ada untuk mereka,
tetapi belum datang untuk saat ini.



16 November 2002

Rasa dan Perasaan

Kata, yang bisa mengungkap perasaan.
Perasaan tatkala terkubur dalam hati,
tak bisa terungkap dengan untaian kata.
Kalimat, hanya didasar atas logika.
Tak bisa mengungkap perasaan yang pasti.

Apa yang bisa terdaya?
Apa yang bisa menyanjung perasaan?

Rasa itu bisa manis dan pahit.
Rasa itu bisa asam bahkan pedas.
Perasaan, sulit terungkap.
Entahlah, apa yang terasa.

Perasaan bagai terendam dalam ombak.
Hanya menaburkan buih-buih yang sulit diterka.
Cerminan hati, jiwa atau raga,
tidak terasa dalam perasaan.

Hanya yang paling sempurna, memiliki perasaan.
Mengapa sulit terungkap?
Refleksi pada diri, tidak memendam perasaan.
Gerakkan panca indera, mulailah untuk mengungkap.
Perasaan yang konkrit, ungkaplah..



17 Desember 2002

Resahku untuk Sampai

Pada potongan jalan itu,
suram terlihat seakan tak ada makna.
Senang, bagiku takkan terlihat.
Satu demi satu pusaran angin telah lewat.
Tak ada satu pun kipasan kurasa.
Mungkin itu lah yang ku alami,
kemarau angin.

Seakan aku terkapar dalam gurun,
merayap di atas pasir.
Sarafku tak membiarkan diriku mencoba lagi
untuk sampai pada oase.

Mencari suatu perasaan.
Mengikat suatu kesegaran batin.

Dalam nafas engah,
keyakinan mulai mendalam.
Aku tak akan sampai.
Sungguh aku tak akan sampai.
Inginku saja hilang sudah.
Walau masih terlihat, keraguan.



4 Januari 2003

Dekade Tujuan

Terulang lagi..
Waktu kini telah datang.
Saat untuk mencoba menabur benih.
Saat di mana sawah itu harus ku olah.
Bajak serta pupuk persiapkanlah.
Mungkin panen kemarin masih sedikit gagal.

Yakin, suatu waktu hujan sajalah yang menyuburkan.
Vulkanisme berperan, melegakan sedikit kerjaku.
Kegelisahan pun mulai tenggelam.

Waktu seakan berlari.
Tidak henti dalam badai maupun topan.

Waktu kini, saat untuk mencoba lagi.
Cekam dalam pikir, tak ada gagal.



28 Maret 2003

Hanya Satu Sayap

Ia mendapat bencana.
Terluka dan hanya ada satu sayap.
Goncang, tentu saja.
Merpati itu, terbelakang di antara yang lain.

Sulit baginya untuk menusuk angkasa,
ksatria tanpa pedang dan perisai.
Merpati itu, hanya satu sayap.

Pedih terlintas dalam matanya.
Hampir saja memilih satu arah.
Hanya dengan satu sayap,
jatuh. Terjerembab.

Ia tak bisa memekakkan telinga.
Satu sayap masih bisa membuatnya di atas awan,
lebih tinggi dari atas darat,
sampai pada ujungnya.

Hanya satu sayap.
Sayap kecil dan lemah,
membuatnya pada satu arah.



29 Mei 2003

Satu

Sepucuk rasa sebenarnya ada.
Apa hanya karena kupu-kupu itu,
yang sengaja hinggap tepat pada kuntum,
membuat kumbang enggan menghisap madu.

Kedua makhluk itu tak salah.
Walau tak ada benar dari keduanya.

Mungkin yang menghalau hanya satu rasa,
satu yang tak menjamin.



5 Juni 2003

Jiwa Timbunan Cerah

Saat alam ini menerawang ke atas,
raga memang bisa bekerja,
tapi, apa yang didapat oleh jiwa?
Tak tau apa isi di sini.
Tampak dalam raut,
kecerahan itu terbit.
Sungguh tak bisa dibuang begitu saja.
Sungguh menancap di sini.

Apakah yang bisa diperbuat?
Kala jiwa selalu menatap cerah?

Mungkin hanya ada satu,
yang bisa memberi satu terka,
akan cerah itu muncul.
Waktu raga jiwa di sini,
mencoba untuk menerka.



30 Juli 2003

Sempatkan Cahaya Rasakan Satu Sinarnya

Jiwa terpana ketika hati berdetak.
Saat sosok manusia hadir di kala terbit.
Raga itu memang seperti keindahan.
Tak yakin hatinya bisa memandang cinta.
Sepertinya, manusia itu yang ternanti.

Buruk hadapi terang dunia akan cinta.
Di tempat sinar itu terbit, tak ada kilas.
Tersumbat genangan akan harap.
Garapan mencapai titik manusia tak tampak.

Manusia itu kah yang selaras akan cahaya?
Manusia itu memang bisa menangkap cahaya.
Tak berarti jika cahaya tak dirasa.



29 Agustus 2003

Titik yang Lenyap

Hembusan hujan menatap pada langitnya.
Mencari apakah tiba satu titik lagi.
Satu titik yang telah lama lenyap.

Rintikan itu pun akhirnya hilang.
Tibanya saat mentari menutup keromantisan.

Sesuatu yang maha karya kah itu?
Sehingga satu engah saja tak cukup.

Bila titik embun saja bisa tertetes di tengah kelam,
apakah langit memang telah membenci,
sampai kawanan keindahan tak hadir di sini.



30 Oktober 2003

Kebahagiaan Tentang Sebuah Tangis

Detik yang telah usai tak kunjung datang.
Doa yang ku hembus tak ku hirup lagi.
Jejak yang ku tinggal tak ku pasang lagi.
Keheningan malam telah terlelap dan tak kan berulang,
seakan pagi tak bisa menggantikan.

Setiap garis tanganku saja tak mungkin terhitung,
apalagi ketika keadaan itu menjemput.
Dan ku tak bisa pulang kembali.

Aku terperosok dalam lingkaran jurang tak berlubang.
Dalam keramaian yang tak berorang.
Dalam kebahagiaan bertangis.
Dalam kemenangan akan pecundang.

Pikiran akan mimpi apakah yang terindah,
yang menolongku dari segala haus.

Tak mungkin ku katakan bahwa semua orang adalah pecundang.
Bahwa semuanya itu debu yang mati tak berdaya.
Bahwa semuanya itu cuma seonggok mimpi buruk,
yang terbawa oleh kebodohan alam dunia.

Kapankah detik itu akan datang?
Kapankah semua doa itu akan ku hirup?
Kapankah jejak itu akan ku pasang?
Hanya saat air mata tak menutup bahagia.



18 Januari 2004

Untuk Sebuah Cinta

Untuk yang tersayang, cinta.
Ketika segalanya itu tak berwarna secerahmu,
di sini, di sebuah paparan kasih akan sayang,
akan berbenih damai yang menghembuskan namamu,
cinta.

Dear cinta,
segalanya akan puitis jika semuanya telah pahit.
Di sini, di hati ini, kasih sayang itu tak kan termusnahkan.
Jika saja kata-kata akan manisnya harapan,
tak lagi berada di atas permukaan.

For loves, banyak cinta.
Tidak. Hanya untukmu,
satu cinta saja, sebuah cinta.
Cinta, kasih, sederhana saja.

Aku tak perlu banyak cinta.
Hanya sebuah cinta,
cinta akan damai dalam detakan setiap hati.



27 April 2004

Akankah Mata Pengungkap Perasaan?

Ku terbawa angan oleh dalamnya mata itu.
Sungguh aku tak dapat menahan emosi terbaikku.
Tapi entahlah,
mungkin saja benar apa yang dikatakannya.

Bagiku itu memang yang diungkapkannya.
Mungkin ini hanya untuk menyenangkan diri.
Hatiku berkata kalau mata itu memang mengungkapnya.
Tapi ragaku tak bisa tinggal diam,
untuk mengatakan bahwa, bukan begitu.

Asa kah yang menutup semua ini?
Meski aku yakin, kalau itu memang yang ia miliki.

Aku ingin segera tau apa itu.
Aku ingin melihat hati dari mata itu.

Sungguh aku sudah terbawa jauh.
Meski ku takut semuanya tak tampak.
Tak serupa dengan anganku.



6 September 2004

Aku Tertidur Dalam Mimpi

Terlalu lama, sampai aku tak tahan untuk menunggu.
Aku terlelap, tertidur.
Sampai lamunan tentang khayalku,
menenggelamkanku dalam mimpi indah.

Jiwaku tergoda rayuan mimpi.
Aku sesak dalam keindahan.
Aku tak bisa menangis.
Jiwaku sedang terbahak-bahak.
Menertawakan tangisan.
Air mata berjatuhan saat senyuman merebak.
Aku tak bisa lagi berkata,
kalau jiwaku dalam sedih.

Ragaku sedang bahagia.
Dan jiwaku tak bisa menolak.
Jiwaku tak bisa mengungkap air mata.
Senyuman itu telah menahan tangisku.
Tawa telah menyapa sakitku.

Aku terbangun dari kegelapan bahagia.
Menyadari kesedihan lagi.
Menyatakan keegoisan hatiku.
Dan tak menghargai kebahagiaan lagi.



25 November 2004

Hatiku dan Duniaku

Selepas asa tak kunjung datang,
sebuah tatapan kembali hadir.
Jantungku seperti melirik ke arah itu.
Tetapi bola mataku menolak hatiku sendiri.
Jiwaku terpesona akan bahagia dan goresan.
Ragaku terlalu egois untuk mengakuinya.
Mungkin ini untuk kebahagiaan seseorang.

Lepas dari dunia, aku katakan,
jantungku terhempas pesona hatinya.
Entah aku munafik, demi kepentingan duniawi.
Sungguh hatinya penuh perasa, penuh pesona dan asa.
Sungguh hatiku setuju tapi duniaku tidak.

Tapi aku tak ingin memanjakan dunia.
Maka aku nyatakan, aku tak tahan dalam kemunafikan.
Aku ingin menjawab pesonanya,
dengan hatiku.



18 Desember 2004

Manjaku dalam Mengungkap

Kemauanku akan tangisan kembali teruntai.
Harapan tanpa akhir hanya menerobos alamku.
Mungkinkah suatu imbalan dosa sedang hadir?

Aku merasa teralih dari segala bahakan.
Aku merasa terasing dari segala lembut hati.

Sebuah genggaman malaikat cantik,
membuatku tak tahan untuk berdosa.
Sang malaikat telah menggenggam irama indah,
yang telah ku untai dalam detikan langkahku.
Aku ingin mengaburkan petikan malaikat.
Aku ingin tenggelam kembali ke duniaku.
Aku tak tahan dengan impiannya.

Aku hanya ingin percikan lagi,
yang kembali mengangkatku dari hitamku,
yang mencerahkanku dari segala layu.

Untuk apa kutulis segalanya dalam kepuitisan,
padahal aku tak mengerti situasi.
Ini hanya sebuah jalan hatiku,
yang jauh dari segala nilai istimewa.



6 Maret 2005

Lihat Dirimu!

Selamat datang dalam balasan kebodohan.
Termenungku dalam setiap kata manis tentang impiannya.
Aku hanya bisa menjadi si dungu munafik.
Menebar seluruh tawaku dalam tangis dari hati.

Apa yang merasuki nuraniku hingga kini?
Aku menerobos segala kebenaran untuk kesenanganku.
Tak ku tatap setiap kata hati sekitarku.
Aku seperti memiliki pendapatku.
Pendapat tanpa logika, hanya berdasar perasaan.

Ya, di situlah kebodohan seorang dungu terjawab.
Tak lagi terbaca olehku kata manis,
tetapi masih banyak yang ku pahami,
tak dipahami sekitarku.

Aku benci kemunafikan tak berakal.
Aku merindukan semua yang telah usai.
Semua hal yang telah terganti.
Semua hal yang tak bisa dilihat olehku.
Oleh seseorang yang tak punya perasaan akan realistisnya hidup yang telah terinjak.



13 Maret 2005

Jawaban Atas Doanya Bukan yang Ia Mau

Benarkah masalah membawa kata manis dalam puisi?

Detik ini saja telah dibawa oleh ribu masalah membuai satu puisi.
Tak dapat ia berangan lagi tentang mimpinya.
Karena ia sudah terjebak oleh jawab yang pasti.
Jawab yang membuat tubuhnya berair mata.

Mungkin itu jawab atas doanya semalam.
Doa yang ia yakin didengar-Nya.

Kini masalah itu telah berujung dalam kepahitan.
Ia sungguh merasa bodoh dalam tindakannya kemarin.
Ia harus menangis sekarang, meski semua telah terjawab.

Meski masalah yang ia selami telah bertabur jawaban.
Tapi jawaban itu tak sama inginnya.

Harinya tak lagi ternikmati bagai biasa.
Tak ada lagi fokusnya untuk membuka mata.

Hari ini memang ia menghela atas jawaban itu,
tapi ternyata jawab itu bisa membuat satu puisi.
Maknanya, jawab itu menambah pikirannya.
Membuatnya gundah, tak lepas dari goresan.



26 Juni 2005

Aku Benci Menyebut Ini Sebuah Kenangan

Mengenang apa yang seharusnya tak terkenang.
Mengapa harus menjadi sebuah kenangan?
Bukan sebuah cerita peri kecil,
yang membuai mimpi-mimpi indah.
Hari yang memang sudah terlewat itu,
hanya mengurai air mataku,
ketika aku tersadarkan oleh masa lalu,
yang semestinya tak menjadi seperti ini.


Kenangan memang tak selalu indah.
Tapi apa salahnya jika bisa dibuat indah.
Semuanya hanya ku katakan dengan satu kata,
ironis.


Pada detik hari ini,
apa yang bisa ku lakukan hanya berharap
dan tertawa dalam penyesalan.
Menertawakan semua kenangan itu.


Sadarkan diriku, semuanya telah hilang.
Meski rindu akan semuanya itu,
selalu memendamkan asaku untuk memejam.




-Tamat-


Hehe.
Sambil ngetik ini, cuma satu kata di benak gue. Melankolis. Lalu, gue juga jadi terkenang dengan gebetan-gebetan jaman SMA dan juga kesetresan-kesetresannya di masa ABG itu, yang kalau dibayangkan sekarang, rasanya, lucu! Hahahaha!

Thanks for reading my writing and feel free to comment. :)


P.S. Btw, itu jaman SMA ya.. those were my teenage's thoughts. They are certainly changed by now.

No comments: